Di sebuah panggung bernama Karawang, para raksasa industri melangkah dengan percaya diri. Mereka menancapkan tiang-tiang produksi, menggerus tanah, menyedot tenaga, namun nyaris tak menanam harapan. Di balik tepuk tangan investasi, terdengar suara pemimpin daerah yang menggema bak lonceng senja: sebuah peringatan yang mengguncang, bukan hanya ke dalam, tapi hingga ke ruang-ruang kaca para pemangku kuasa.
Tak lama, hadir sosok yang sudah lama dikenal sebagai pembisik tajam di lorong-lorong kekuasaan. Namanya Kuncir, bukan nama sebenarnya, tapi cukup untuk membuat para petinggi mengernyit. Ia tak membawa jabatan, hanya ketegasan kata yang bisa menusuk lebih dalam dari lembaran surat edaran.
"Raksasa itu jangan hanya datang menanam tiang, lalu pergi meninggalkan bayang-bayang kerusakan. Mereka harus menabur kebaikan, bukan sekadar laba," ujarnya dengan suara serak yang menolak diam, Sabtu (07/06/2025).
CSR: Ketika Topeng Tak Lagi Cukup
Bagi Kuncir, tiga huruf itu—CSR—seharusnya bukan mantra penggoda, melainkan alat tukar yang adil antara laba dan rakyat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: formalitas tanpa makna, upacara tanpa roh.
"Jika CSR cuma jadi upaya mempercantik citra, itu bukan pengabdian, itu pemoles luka yang tak sembuh."
Ia menuntut agar CSR langsung menyentuh nadi masyarakat: sekolah tanpa atap, desa tanpa sinyal, korban bencana yang hanya mendapat pelukan janji. "Jangan pakai CSR untuk foto-foto seremonial, tapi buatlah rakyat merasa dipegang tangannya, bukan digantung harapannya."
Dinas-Dinas yang Terlalu Nyaman
Kuncir tak ragu menyentil instansi yang seharusnya jadi poros pengawasan. Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Tenaga Kerja disebutnya terlalu lama berkutat di balik meja, menulis laporan panjang, tapi lupa jalan menuju dusun.
"Mereka seharusnya jadi mata dan tangan rakyat. Tapi kalau terlalu sibuk di ruang AC, bagaimana bisa tahu desa mana yang belum tersentuh CSR?"
Kritiknya menyiratkan sindiran keras, namun juga panggilan moral.
Kurban yang Tak Lagi Suci
Salah satu contoh nyata kegagalan sinergi, kata Kuncir, adalah distribusi hewan kurban yang tak punya koordinasi. Banyak wilayah justru saling sikut karena sapi dan kambing dibagikan tanpa peta, tanpa nalar, tanpa empati.
"Kurban itu lambang persaudaraan. Tapi jika salah kelola, ia bisa jadi sumber amarah diam-diam di antara kampung yang merasa diabaikan."
Sebelum Petani Mengangkat Parang
Mengakhiri pesannya, Kuncir memberi peringatan keras, bukan sebagai ancaman, tapi sebagai bayang-bayang kemungkinan:
"Jika para pemilik modal tak juga sadar, jangan salahkan rakyat bila kelak mereka bersuara dengan cara yang tak biasa. Di tanah ini, kesabaran punya batas, dan keadilan bukan cuma soal hukum, tapi rasa."
Ia mengajak semua pihak, pengusaha, birokrasi, dan masyarakat, untuk merajut ulang benang yang sudah mulai kusut. Karena Karawang tak butuh panggung sandiwara. Ia butuh kemitraan sejati, bukan drama tahunan yang berulang tanpa perubahan.(Ki)